Featured Post

Featured

Cerita Rakyat Sasakala Situ Bagendit

Cerita Rakyat Sunda Sasakala Situ Bagendit Cerita Rakyat Sunda Bahasa Indonesia Sasakala Situ Bagendit Situ Bagendit , suatu area wisata ber...

Babad Limbangan Kabupaten Garut

Babad Limbangan Kabupaten Garut

Babad Limbangan Kabupaten Garut


Diceritakan, pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang bergelar Prabu Layaran Wangi (atau biasa kita kenal dengan sebutan Prabu Siliwangi). Prabu Layaran Wangi ini berasal dari sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan Raharja, sebuah kerajaan besar di Tatar Sunda.


Disadur dari website pemerintah Kabupaten Garut, dalam Babad Limbangan Garut ini, dikisahkan, Sang Prabu memiliki seorang abdi atau pembantu yang mempunyai nama Aki Panyumpit. Dalam kesehariannya, Aki Panyumpit ini mengemban tugas dari Sang Prabu yaitu berburu binatang dengan menggunakan beberapa alat bantu yaitu alat sumpit (panah), lengkap dengan busurnya.


Aki Panyumpit Bertemu Putri Sunan Rumenggong


Dalam menjalankan aktifitas berburunya, Aki Panyumpit seringkali pergi kesana kemari mencari hewan buruan. Hingga pada suatu ketika Aki Panyumpit melangkahkan kaki berburu ke arah sebelah Timur. Sayang, sampai matahari tepat di atas ubun-ubun pun ia belum juga mendapat seekor pun hewan buruan, padahal bukan satu dua bukit yang sudah ia daki.


Ilustrasi Desa di Garut
Ilustrasi sebuah desa di Garut
Sumber : commons.wikipedia.org


Hingga pada akhirnya sampailah Aki Panyumpit di puncak sebuah gunung. Disana, sebagai seorang pemburu dengan penciuman yang sangat tajam indra penciumannya merespon sebuah wewangian, bola matanya yang awas pun melihat sinar cahaya yang jelas terpancar di sebelah utara Sungai Cipancar.


Selidik punya selidik, diketahuinya ternyata harum semerbak dan pancaran sinar yang ia lihat itu ternyata betasal dari tubuh seorang putri yang sedang membersihkan diri atau mandi di Sungai. Putri itu mengaku bahwa ia adalah putri dari Sunan Rumenggong yang bergelar Putri Rambut Kasih. Ia adalah penguasa daerah Limbangan.


Prabu Layaran Wangi Berniat Memperistri Putri dari Limbangan


Setelah bertemu dengan Nyi Putri Rambut Kasih dari Limbangan, Aki Panyumpit pun bergegas pulang dan selanjutnya menceritakan hal tersebut pada Prabu Layaran Wangi. Mendengar cerita tersebut, Prabu Layaran Wangi pun lalu menamai Gunung tempat bertemunya Aki Panyumpit dan Putri Limbangan tersebut sebagai Gunung Haruman (Gunung Wangi).


Beliau (Prabu Layaran Wangi) pun lalu berniat untuk memperistri sang Putri dari Limbangan tersebut. Guna mewujudkan keinginannya tersebut, ia lalu memberikan titah kepada dua orang pembesar kerajaan Pakuan Raharja yaitu Gajah Manggala dan Arya Gajah untuk menyampaikan maksud sang Prabu untuk mempersunting atau meminang sang Putri.


Bersama Aki Panyumpit, Gajah Manggala dan Arya Gajah berangkat untuk menyampaikan pinangan dengan sejumlah pengiring bersenjata lengkap. Prabu Layaran Wangi memberikan titah bahwa proses lamaran ini harus berhasil. Semua rombongan tidak diperkenankan kembali ke Pakuan Raharja jika proses lamaran tidak berhasil.


Dan memang ternyata prosesi lamaran Putri Limbangan ini tak semulus yang dikehendaki, karena Nyi Putri pada awalnya menolak lamaran dari Prabu Layaran Wangi. Tapi untunglah setelah ayahanda dari Sang Putri yaitu Sunan Rumenggong turun tangan menasehati putrinya, Nyi Putri akhirnya bersedia untuk menikah dan menjadi istri Prabu Layaran Wangi.


Terbentuknya kota Dayeuh Manggung


Waktu pun berlalu, setelah kira-kira sepuluh tahun berjalan, Nyi Putri melahirkan dua orang putra hasil dari pernikahannya dengan Prabu Layaran Wangi, Raja Pakuan Raharja. Kedua orang putra tersebut diberi nama Basudewa dan Liman Senjaya.


Kedua putra Prabu Layaran Wangi tersebut kemudian dibawa, diasuh, dan dididik oleh kakeknya yaitu Sunan Rumenggong di Limbangan. Dan setelah cukup umur, dua orang putra Nyi Putri itu dijadikan kepala daerah di sana, dimana Basudewa menjadi penguasa Limbangan yang bergelar Prabu Basudewa, dan Liman Senjaya menjadi penguasa daerah Dayeuh Luhur di sebelah selatan dan bergelar Prabu Liman Senjaya.


Dan dikemudian hari ketika Prabu Liman Senjaya sudah berkeluarga, sudah memiliki istri, ia membuka sebuah daerah untuk dijadikan babakan pidayeuheun (kota) yang ternyata berkembang pesat menjadi sebuah negara benama Dayeuh Manggung. Dan Dayeuh Manggung yang masyhur dengan hasil tenunannya ini terus berkembang hingga kemudian bisa sejajar dan dikenal dengan baik dengan dayeuh yang lebih dulu ada seperti Tibanganten, Sangiang Mayok, dan Mandalaputang.

Sanghyang Taraje, Jalur Air Terjun Menuju Kahyangan

Sanghyang Taraje, Jalur Air Terjun Menuju Kahyangan

Sanghyang Taraje, Jalur Air Terjun Menuju Kahyangan


Sanghyang Taraje, Jalur Air Terjun Menuju Kahyangan - Sanghyang Taraje, adalah nama salah satu air terjun yang ada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Air terjun ini menyajikan pemandangan khas alam tatar sunda dengan pegunungan yang rimbun dan sejuk di sekelilingnya.


Air terjun yang terletak di Desa Pakenjeng, Kecamatan Pamulihan ini dikenal sangat indah sehingga banyak dikunjungi oleh pelancong. Bahkan para wisatawan tak ragu untuk menerabas track jalan guna bertemu dengan air terjun alami yang berselimut pepohonan dalam bukit ini. Dilihat dari aliran airnya, air terjun ini  termasuk jalur aliran Sungai Cibatarua, yaitu salah satu dari anak Sungai Cikandang yang nantinya akan bermuara ke Samudera Hindia.


Diperkirakan, air terjun atau Curug Sanghyang Taraje ini memiliki ketinggian sekitar seratus meter. Ini menjadikannya sebagai lokasi yang cocok untuk berselfie ria, apalagi untuk muda-mudi masa kini yang senang menjelajah tempat yang instragramable. Karena dengan berfoto  beratar dua curahan air terjun yang cantik penghias perbukitan ini, nuansa estetik akan sangat kental terasa, apalagi Curug Sanghyang Taraje ini kerapkali berselimut kabut.


Ilustrasi air terjun
Ilustrasi Air terjun
Sumber : commons.wikipedia.org


Arti Sanghyang Taraje


Berkaitan dengan namanya, Sanghyang Taraje terdiri dari dua kata yaitu Sanghyang, dan Taraje. Dalam bahasa Sunda, Sanghyang bisa diartikan sebagai sebutan atau panggilan kehormatan pada sesuatu atau seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi. Sebutan Sanghyang ini biasa digunakan pada masa lampau untuk menyebut Dewa atau Raja. Sedangkan Taraje mempunyai arti "tangga" dalam bahasa Sunda.


Dengan demikian menurut beberapa sumber kata Sanghyang Taraje ini bisa diartikan sebagai "tangga yang dipakai oleh para dewa untuk menuju kahyangan".


Legenda Sangkuriang


Selain itu, adapula cerita yang menyebutkan bahwa dulunya "tangga" air terjun ini pernah digunakan oleh seorang tokoh legenda Sunda yaitu Sangkuriang. Sangkuriang menggunakan air terjun ini sebagai tangga untuk memetik gemintang di atap alangit guna dipersembahkan kepada Dayang Sumbi, yang tak lain merupakan ibu kandungnya sendiri.


Cerita legenda Sangkuriang memetik bintang tersebut didukung dengan adanya sebuah batu yang terpahat tapak berukuran besar atau raksasa. Menurut legenda, tapak itu adalah tapak milik Sangkuriang kala mengeluarkan kesaktiannya dan memetik bintang.


Terlepas dari asal mula nama Sanghyang Taraje serta kisah legenda yang dimiliki oleh Curug Sanghyang Taraje ini, sepatutnya membuat kita makin bersyukur dengan keindahan alam yang ada dan bisa menjaga alam dengan lebih baik lagi.

Menguak Fakta Misteri Maung Bungkeuleukan di Gunung Guntur Garut

Menguak Fakta Misteri Maung Bungkeuleukan di Gunung Guntur Garut

Menguak Misteri Maung Bungkeuleukan dan Larangan Meniup Suling di Gunung Guntur Garut


Menguak Misteri Maung Bungkeuleukan dan Larangan Meniup Suling di Gunung Guntur Kabupaten Garut - Gunung Guntur, adalah salah satu gunung yang ada di Kabupaten Garut, Jawa Barat, tepatnya terletak di daerah Kecamatan Tarogong Kaler. Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 2.249 MDPL. Sebagai salah satu gunung di Tatar Sunda tentu saja gunung ini memiliki pesona khas tanah Parahyangan. Namun siapa sangka ternyata dibalik pesona dan panorama khasnya, Gunung Guntur Garut ini ternyata mempunyai misteri yang masih menarik untuk dibahas hingga saat ini.


Mitos tersebut adalah mitos Maung Bungkeuleukan (macan gentayangan) yang ada kaitannya dengan dengan mitos larangan di Gunung Guntur yaitu larangan meniup suling. Kedua mitos tersebut masih sangat kental dan kentara dipercaya oleh masyarakat setempat setidaknya hingga beberapa generasi ke belakang.


Konon katanya menurut warga Tarogong Kaler, menurut kepercayaan orang tua jaman dulu di daerah tersebut, jika ada yang berani meniup seruling di daerah Gunung Guntur maka Maung Bungkeuleukan akan menampakkan diri. Jadi bisa dilihat bahwa sangat jelas mitos Maung Bungkeuleukan ini ada sangkut pautnya dengan larangan meniup suling atau seruling, yaitu hukum sebab dan akibat. Dan mitos tersebut masih terjaga dan terdengar hingga sekarang karena ceritanya diturunkan dari generasi ke generasi.


Apakah Maung Bungkeuleukan Itu Benar-benar Ada?


Dikutip dari news detik(dot)com, terdapat sebuah sumber yang mengatakan bahwa mitos Maung Bungkeuleukan ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan peristiwa sejarah DI/TII yang terjadi puluhan tahun lalu di Jawa Barat.


Gunung guntur Kabupaten Garut
Pemandangan Gunung Guntur Garut
Sumber : commons.wikipedia.org


Tentu saja keterangan tersebut membuat mitos Maung Bungkeuleukan ini menjadi lebih masuk akal, dimana bisa diartikan tidak boleh meniup seruling itu berarti tidak boleh ribut (karena pada waktu itu keadaan sedang genting), dan Maung Bungkeuleukan bisa saja dialamatkan pada kelompok DI/TII sebagai sebuah kelompok atau gerombolan bersenjata yang membahayakan atau ganas.


Dan larangan meniup seruling karena akan mendatangkan Maung Bungkeuleukan ini bisa diartikan sebagai larangan untuk ribut karena bisa membahayakan, dimana kala itu gerombolan DI/TII ada di sekitaran pemukiman penduduk.


Dan, ada pula yang menyebutkan bahwa saat itu ABRI (sekarang TNI) sedang gencar-gencarnya menangkapi anggota DI/TII di kawasan Gunung Guntur, saat itu warga diimbau untuk diam atau tidak ribut karena jika warga ribut dikhawatirkan anggota DI/TII yang sedang diincar kabur atau melarikan diri.


Fakta Sejarah Gunung Guntur Kabupaten Garut


Menurut runtutan sejarah, salah satu tempat persembunyian gerombolan DI/TII saat pergerakannya dulu adalah memang di daerah Gunung Guntur ini. Bahkan pemimpin DI/TII Kartosoewirjo konon ditangkap di sekitaran Gunung Guntur yaitu di daerah Gunung Geber. Gunung Guntur dan Gunung Geber ini letaknya bersebelahan.


Jadi dengan mengetahui fakta sejarah yang telah disebutkan di atas, mitos larangan meniup suling karena akan mendatangkan Maung Bungkeuleukan ini bisa dirasa lebih masuk akal, dimana mitos tersebut murni hanya analogi saja supaya lebih mudah diterima masyarakat saat itu.


Dan memang hingga kini, apalagi menginjak tahun 2000an, mitos tentang adanya Maung Bungkeleukan jika kita meniup suling di daerah Gunung Guntur itu tidak pernah terbukti. Namun demikian mitos ini tetap menjadi kearifan lokal yang sarat akan nilai-nilai kultural di masyarakat.

Awal Mula Nama Curug Orok Kabupaten Garut

Awal Mula Nama Curug Orok Kabupaten Garut

Awal Mula Nama Curug Orok Kabupaten Garut

Kisah Tragis Dibalik Nama Tempat Wisata Garut Curug Orok


Curug Orok, objek wisata air terjun yang kental dengan nuansa hutan atau wana wisata ini terletak di Kabupaten Garut tepatnya di Desa Cikajang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut.


Menurut beberapa sumber, dulunya air terjun yang memiliki jarak tempuh sekitar 31 Km dari alun-alun Garut ini bernama Curug Sanghyang Parabu Gebur, namun seiring berjalannya waktu nama air terjun ini dirubah berdasarkan kejadian mengiris hati yang konon katanya pernah terjadi di lokasi air terjun ini.


Ya, dibalik keindahan Curug Orok yang sangat cocok dijadikan latar untuk berfoto ini, ternyata tersimpan sebuah cerita sedih dan tragis dibalik namanya. Ketinggian air terjun yang menjulang dan debur airnya begitu artistik instagramable, menutup jerit kesedihan yang tersirat dari namanya.


"Orok" adalah bahasa Sunda dari kata "bayi" dalam bahasa Indonesia. Awal mula nama Curug Orok Kabupaten Garut ini konon berasal dari kejadian seorang ibu yang membuang bayinya di lokasi air terjun ini berada. Begitu tragis, begitu pilu ketika masyarakat setempat mengenangnya.


Menurut cerita, peristiwa menyayat hati yang menjadi cerita sedih tersebut terjadi pada tahun 1968, dimana kala itu datang seorang ibu muda yang membawa buah hatinya ke lokasi curug. Ia datang bukan untuk berwisata, namun untuk membuang buah hatinya tersebut. Ia naik ke atas puncak air terjun, dan menjatuhkan bayinya dari atas, hingga bayi tak berdosa tersebut meluncur bebas ke bawah dan jatuh ke kolam air terjun.


Memang tak masuk di akal sehat sang ibu tega berbuat demikian. Hal itu dilakukan diduga karena sang ibu stres dan juga malu karena bayi yang dilempar dari puncak air terjun tersebut adalah hasil hubungan gelap dengan pacarnya atau bayi dari hubungan di luar pernikahan, dan sang pacar enggan bertanggung jawab.


Dari kejadian itulah, di kemudian hari air terjun yang awalnya bernama Curug Sanghyang Parabu Gebur ini jadi lebih dikenal dengan nama Curug Orok.


Curug Orok
Sumber commons.wikipedia.org


Keindahan di Sekitar Curug Orok


Curug Orok bukanlah air terjun tunggal atau berdiri sendiri, karena sejatinya air terjun dengan tinggi sekira 45 meter ini terdiri dari dua buah air terjun yang berdekatan. Yang satu air terjunnya berukuran cukup besar dengan debit air tercurah yang melimpah, dan air terjun yang satunya lagi berukuran lebih kecil. Air terjun yang berukuran besar ditafsirkan sebagai si ibu, dan yang berukuran lebih kecil melambangkan bayinya.


Air terjun ini sudah menjadi objek dan daya tarik wisata Curug Orok Kabupaten Garut sejak tahun 1996 dan dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara, sedangkan hak kepemilikannya dimiliki oleh PT. Perkebunan Papandayan.


Curug Orok ini berada di ketinggian sekitar 250 meter diatas permukaan laut tepatnya di kaki gunung Papandayan. Karena berada di kaki gunung, udara di kawasan Curug Orok ini sangat segar khas pegunungan. Di kawasan yang didominasi pohon pinus ini, jika beruntung kita bisa melihat hewan liar monyet yang masih banyak berkekiaran dengan bebas di kawasan tempat wisata ini.

Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang dan Legenda Maung Siliwangi


Leuweung Sancang, adalah nama sebuah kawasan hutan yang sudah sangat dikenal di tatar Sunda utamanya di Kabupaten Garut. Lokasi Leuweung Sancang ini berada di Desa Cibalong, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Sancang.


Hutan, dalam bahasa Sunda disebut Leuweung. Leuweung Sancang berarti Hutan Sancang. Di hutan ini tersimpan sebuah misteri dan legenda. Konon, Legenda Maung Siliwangi jelmaan dari Prabu Siliwangi terlahir dari hutan ini. Prabu Siliwangi sendiri adalah salah satu raja yang dikenal arif dan bijaksana di tatar Sunda, yang berasal dari Kerajaan Padjadjaran.


Jika kita menginjakkan kaki di kawasan Leuweung Sancang, kita bisa menjumpai pohon-pohon yang lebat dan besar, yang diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Dan bersanding dengan pohon-pohon yang lebat itu, binatang liar pun bisa dijumpai di sini termasuk yang berada diambang kepunahan yaitu Owa Jawa.


Legendanya, di Leuweung Sancang inilah Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi menghilang dan berubah wujud menjadi Maung (harimau) bersama para prajuritnya, dimana Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau tanpa belang dan para prajuritnya berubah menjadi harimau biasa yang saat ini biasa orang Sunda sebut dengan "Maung Lodaya".


Awal Mula Cerita Munculnya Maung Siliwangi


Menurut legenda yang kisahnya diceritakan secara turun-temurun, munculnya Maung Siliwangi ini berawal dari kegigihan dakwah Prabu Kiansantang terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk memeluk Islam. Seperti diketahui, kerajaan Padjajaran adalah kerajaan di tanah Sunda yang bercorak Hindu dan Prabu Siliwangi adalah seorang pemeluk Hindu yang taat.


Cerita ini dimulai pada tahun 1513, ketika itu lahirlah keturunan Prabu Siliwangi yang bernama Raden Kiansantang. Raden Kiansantang sedari kecil sangatlah cerdas, dan seiring waktu ia tumbuh menjadi pemuda yang cakap gagah. Bahkan di usianya yang masih belia ia sudah sangat mahir menguasai ilmu beladiri dan ilmu kanuragan, yang dikemudian hari membuatnya terkenal karena kesaktiannya.


Saking saktinya, Raden Kiansantang tak dapat dilukai dalam pertarungan, senjata tajam model apapun tak akan mempan pada tubuhnya. Tubuhnya benar-benar kebal, tak bisa dilukai. Ia menjadi seorang pendekar yang sakti mandraguna sampai ia sendiri pun heran akan hal ini.


Untuk mencari jawaban akan rasa penasarannya ia berkeliling mengembara menelusuri tatar Sunda tanah Pasundan. Ia sangat ingin melihat darahnya sendiri mengalir, tapi setiap lawan tanding yang ia jumpai dalam pengembaraannya tidak bisa melakukan itu. Tak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat darahnya menetes sedikitpun.


Tak juga mendapat lawan sepadan, akhirnya ia meminta ayahandanya Prabu Siliwangi untuk mencarikan lawan tanding. Dan Prabu Siliwangi pun mengabulkan permintaan putranya tersebut, ia meminta bantuan pada orang-orang pintar dan berpengetahuan luas, hingga ahli nujum, untuk mencarikan seseorang yang mampu mengalahkan putranya.


Hingga akhirnya, datanglah seorang kakek yang memberitahu siapa dan dimana ada lawan yang pantas untuk bisa mengalahkan Raden Kiansantang. Ia mengatakan bahwa orang yang gagah itu bisa ditemukan di Tanah Suci Mekkah. Orang itu bernama Ali.


Mendengar hal itu Raden Kiansantang pun merasa tertantang dan ingin segera bertarung menghadapi orang bernama Ali tersebut. Ia pun bersemedi terlebih dahulu di Ujung Kulon (ujung barat) dan mengubah namanya menjadi Galantrang Setra sebagai syarat yang diberikan oleh sang kakek pemberi berita.


Ilustrasi Maung Siliwangi
Ilustrasi Hutan dan Maung Siliwangi.
Sumber Creative Commons pxhere.com


Raden Kiansantang Pergi ke Tanah Arab dan Memeluk Agama Islam


Setelah selesai menjalankan dua syarat tersebut, Raden Kiansantang tak menunggu lama langsung melakukan perjalanan ke Mekkah. Ia tak sabar untuk bertemu dengan orang bernama Ali yang dikabarkan bisa mengalahkannya. Dan sesampainya di kota Mekkah ia langsung mencari orang tersebut.


Dalam pencariannya, Raden Kiansantang bertemu dengan seorang pria yang bersedia mengantarnya untuk bertemu dengan sosok bernama yang Ali yang sedang dicari. Namun pria tersebut mengajukan syarat, jika Raden Kiansantang benar-benar ingin bertemu dengan Ali, Raden Kiansantang harus bisa mencabut mengangkat tongkat yang sebelumnya ditancapkan ke pasir oleh pria tersebut. Raden Kiansantang pun menyanggupinya.


Betapa kagetnya Raden Kiansantang, karena ternyata ia tak mampu mencabut tongkat di hadapannya, padahal itu hanyalah sebuah tongkat yang ditancapkan ke pasir. Tak sampai di situ Raden Kiansantang pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya untuk mencabut tongkat tersebut. Tapi yang terjadi,Raden Kiansantang tetap tak bisa mencabut tongkat tersebut walau ia sampai mengeluarkan keringat darah.


Melihat kejadian itu, sang pria menghampiri Raden Kiansantang yang sedang terengah-engah. Ia membaca Bismillah, lalu mencabut tongkat yang tertancap. Dan tongkat itu pun tercabut dengan mudahnya. Raden Kiansantang pun keheranan, kenapa pria itu bisa mencabut tongkat dengan mudahnya, sementara dirinya sampai mengeluarkan keringat darah pun tetap tidak bisa mencabutnya.


Singkatnya karena kejadian tersebutlah Raden Kiansantang lalu memeluk agama Islam. Ia pun menetap di kota Mekkah beberapa bulan untuk mempelajari agama barunya, Islam. Dan ia pun berniat sekembalinya ia ke Padjadjaran nanti, ia akan membujuk ayahnya untuk memeluk agama Islam juga.


Waktu itu pun tiba, Raden Kiansantang pulang dari kota Mekkah ke Padjajaran. Sesampainya di Pajajaran ia langsung menyampaikan maksudnya, ia mendakwahkan agama Islam kepada ayahnya dan berharap ayahnya akan menyambut baik. Namun ternyata, harapan tak sesuai kenyataan, Prabu Siliwangi enggan mengikuti jejak anaknya untuk memeluk agama Islam, ia ingin tetal menjadi pemeluk Hindu yang taat.


Namun demikian Raden Kiansantang tak menyerah, ia kembali lagi ke Mekkah untuk makin memperdalam ajaran agama Islam, dengan harapan jika ilmu agama Islamnya semakin dalam ia dapat menjelaskan Islam dengan lebih baik pada ayahnya. Dan dengan itu ia berharap Prabu Siliwangi bisa percaya pada ajaran agama yang dibawanya yaitu Islam, dan terbujuk untuk ikut memeluk agama Islam.


Berubahnya Prabu Siliwangi Menjadi Harimau di Leuweung Sancang


Tujuh tahun lamanya Raden Kiansantang memperdalam kembali ajaran agama Islam di Mekkah. Setelah dirasa cukup ia pun berniat untuk kembali ke Pajajaran. Dan Prabu Siliwangi pun mendengar berita tersebut, anaknya akan segera pulang.


Berdasar berita kepulangan anaknya itu, Prabu Siliwangi membuat keputusan untuk mengubah keraton Pajajaran menjadi hutan rimba agar Raden Kiansantang tak bisa menemukan keraton Pajajaran.


Sesampainya di lokasi yang sebelumnya adalah tempat berdirinya keraton, Raden Kiansantang kaget karena keraton Pajajaran ternyata telah berubah menjadi hutan rimba. Padahal ia hanya pergi sekitar tujuh tahun, tapi keadaan keraton sudah berubah drastis. Ia pun berjalan menelusur kesana kemari di dalam hutan itu untuk mencari ayahnya, karena ia yakin hutan itu adalah tempat berdirinya keraton Pajajaran. Ia pun merasa lega ketika akhirnya ia berhasil menemui Ayahnya beserta prajurit Pajajaran di dalam hutan teraebut.


Dalam kebahagiaannya ia bertanya pada Ayahnya dengan penuh khidmat, "Ayahanda, mengapa Ayahanda tinggal di dalam hutan? Bukankah Ayahanda adalah seorang Raja Padjajaran? Apakah pantas seorang Raja yang begitu disegani tinggal di hutan?"


Prabu Siliwangi pun menjawab "Wahai Ananda tersayang, jika bukan Raja, lantas apakah yang pantas untuk tinggal di hutan?". Raden Kiansantang pun menjawab, "Yang pantas tinggal di hutan seperti ini adalah harimau,".


Konon katanya menurut cerita, seketika itu juga Prabu Siliwangi beserta para prajurit dan pengawalnya tiba-tiba saja berubah menjadi harimau. Tentu saja Raden Kiansantang kaget melihat hal tersebut dan sangat menyesal atas apa yang ia ucapkan, karena sepertinya sang ayah berubah mengugu apa yang diucapkannya.


Tapi meski Prabu Siliwangi sudah berubah menjadi harimau, Raden Kiansantang pantang menyerah dan tetap mengajak ayahandanya untuk memeluk agama Islam. Namun sepertinya Prabu Siliwangi pun bersikukuh untuk menolak, harimau-harimau di hadapan Raden Kiansantang satu persatu menjauh lari dan pergi ke daerah selatan lalu masuknke dalam goa. Goa tempat masuknya harimau-harimau tersebut kini dikenal dengan nama Goa Sancang yang terletak di dalam rimbun dan pekatnya Leuweung Sancang Garut.


Menurut cerita, para harimau tersebut selanjutnya bersemayam di hutan tersebut tepatnya di kayu Kaboa. Kayu Kaboa sendiri begitu dikenal dalam dunia ilmu ghaib. Dimana menurut para sesepuh, kayu Kaboa di Leuweung Sancang ini terbagi menjadi dua jenis yaitu Kaboa Munding yang berada di belantara Hutan Sancang, dan Kaboa Siliwangi yang berada di tengah Hutan Sancang.

Cerita Rakyat Pacaduan Leuwi Gombong

Cerita Rakyat Pacaduan Leuwi Gombong

Cerita Rakyat Pacaduan Leuwi Gombong


Cerita Rakyat Sunda Pacaduan Leuwi Gombong Kabupaten Garut


Dalam banyak budaya termasuk budaya Sunda, dalam kehidupan sehari-hari terdapat rambu-rambu untuk melakukan suatu hal, tentang suatu hal itu boleh dilakukan, atau tidak. Baik rambu-rambu itu bisa dipahami oleh logika, ataupun tidak.


Ini menjadi semacam aturan tidak tertulis dimana rambu atau aturan tersebut beberapa diantaranya bahkan ada yang diselipi mitos, seperti Pacaduan Leuwi Gombong yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini.


Pacaduan, dalam bahasa Sunda berarti hal-hal tertentu yang dilarang untuk dilakukan. Hal ini biasanya didasarkan pada amanat leluhur, yang dipegang teguh secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam bahasa Indonesia, pacaduan atau cadu ini kurang lebih artinya sama dengan "tabu".


Pacaduan Leuwi Gombong Kabupaten Garut


Berkaitan dengan istilah pacaduan yang telah diterangkan di atas, salah satu tempat yang sangat kental dan memiliki banyak pacaduan di tatar Sunda adalah Sungai Cimanuk. Bahkan beberapa diantaranya menjadi cerita rakyat yaitu cerita rakyat Sungai Cimanuk.


Bersumber dari “Folklore Kabupaten Garut” yang dilansir dari jernih.co, pacaduan di sepanjang aliran Sungai Cimanuk ini diantaranya adalah dilarang mengucapkan kata-kata yang bernada memaki, menghina, atau merendahkan.


Dalam bahasa sunda perbuatan seperti itu disebut dengan "sompral". Orang suka berbicara memaki, merendahkan, itu disebut orang yang sompral.


Selain itu, di sepanjang aliran Sungai Cimanuk juga terdapat pacaduan berupa larangan melakukan sesuatu di tempat-tempat atau di spot-spot tertentu di sepanjang aliran sungai. Salah satunya adalah di kawasan Leuwi Gombong, yang terletak di Desa Surabaya, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut.


Sungai Cimanuk
Sungai Cimanuk. Sumber commons.wikipedia.org


Pacaduan Aparat Pemerintah Dilarang Memancing di Leuwi Gombong, dan Wanita Penduduk Setempat Dilarang Menyeberangi Leuwi Gombong


Di area Leuwi Gombong ini ada pacaduan seorang aparat pemerintahan tidak boleh memancing atau bahkan sekedar beristirahat di sana. Jika nekat melanggar tabu atau pacaduan ini, konon sang aparat atau pegawai pemerintahan tersebut akan kehilangan jabatannya.


Awal mula adanya pacaduan atau tabu di kawasan Leuwi Gombong ini konon dimulai pada sekitar tahun 1920-an. Dimana pada saat itu, diceritakan ada seorang aparat pemerintah yang sedang melakukan kegiatan memancing di Leuwi Gombong, namun pada giliran selanjutnya sang aparat tersebut malah melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap seorang gadis yang merupakan penduduk setempat.


Diceritakan ketika sang pegawai pemerintahan tersebut sedang memancing, ia melihat seorang gadis menyeberang sungai di sebelah hilir. Gadis itu menyeberang dari sisi sungai sebrang menuju ke arahnya, ke sisi sungai tempat ia sedang duduk memegang kail pancingnya. Ia memperhatikan gadis yang sedang menyeberang sungai tersebut dengan seksama.


Keadaan air sungai yang tidak terlalu dalam namun cukup deras, membuat kain samping sang gadis tersibak hingga memperlihatkan bagian pahanya. Sontak aparat yang sedang memperhatikan gadis yang sedang menyeberang tersebut langsung tergoda dan muncullah niat jahat dalam pikirannya. Dimana ketika sang gadis sampai ke pinggir, ia langsung menyergap dan memperkosanya.


Bahkan ada versi cerita yang menyebutkan bahwa sang aparat sampai membunuh gadis tersebut karena melawan saat ia ingin melampiaskan nafsunya.


Karena kejadian itulah, sejak saat itu pacaduan atau tabu mulai berlaku di Leuwi Gombong tersebut. Pacaduan tersebut muncul dan dilontarkan oleh sesepuh warga setempat yang mengatakan kawasan Leuwi Gombong "cadu" didatangi oleh pejabat atau aparatur pemerintahan. Dan di sisi lain, pacaduan juga berlaku bagi gadis-gadis atau wanita di sana, yaitu para wanita penduduk setempat dilaranv untuk menyeberangi Leuwi Gombong.


Padahal, sebelum kejadian yang memilukan dan memalukan tersebut, kawasan Leuwi Gombong adalah tempat yang disukai oleh Kanjeng Dalem Garut untuk beristirahat dan melepas penat dari pekerjaannya. Di daerah ini Kanjeng Dalem biasa berlibur bersama keluarga, sanak saudara, dan juga para bawahan untuk berpesta makan bersama sambil menangkap dan bakar ikan, karena ikan Sungai Cimanuk Leuwi Gombong  terkenal lezat dan gurih.


Pacaduan Dilarang Mengucap Kata-kata Kotor dan Tidak Sopan di Kawasan Leuwi Gombong


Pacaduan ini konon muncul sekira tahun 1950-an, dimana kala itu seorang pemancing yang sedang dirundung kesialan karena tak kunjung mendapat ikan, marah-marah di sekitar lokasi Leuwi Gombong.


Pemancing tersebut diceritakan sudah menghabiskan waktunya dari pagi hingga petang untuk memancing, namun ia tak kunjung mendapat ikan satu ekor pun. Hingga akhirnya ia habis kesabaran dan marah-marah dengan cara memukul-mukulkan joran atau gagang pancing ke permukaan sungai.


Dengan kesal keluarlah caci maki dari mulutnya, kata kotor yang berhamburan tanpa sadar dari mulutnya seolah memaki seluruh isi penghuni Sungai Cimanuk Leuwi Gombong. Seolah Cimanuk miskin dan kikir karena tak memberi satu ekor ikan pun pada dirinya.


Amarah yang menggelegak menjelang petang itu pun akhirnya berbuah petaka. Karena belum habis caci maki keluar dari mulutnya, sang pemancing tiba-tiba terkaget melihat air Cimanuk seolah bergolak mendidih dengan bunyi bergemuruh yang memekakkan telinga.


Saat itulah, dari tengah sungai keluar seekor ikan dengan rupa yang sangat menyeramkan. Ikan itu berwarna hitam dan berukuran sangat besar, sebesar lesung. Rupa ikan itu membuat bulu kuduk berdiri, dimana kepalanya tajam berduri-duri, dan matanya seram merah menyala-nyala. Mulut ikan yang seketika terbuka pun menampakkan pemandangan yang seketika membuat lemas seluruh anggota badan, dimana gigi taring runcing seolah siap menerkam sang pemancing.


Sang pemancing yang sedang marah itu pun angsung pucat pasi terkejut luar biasa setelah melihat ikan tersebut. Ia lari terbirit-birit, pontang panting menaiki tebing. Nafasnya pun tersengal habis tak terjeda hingga Ia terkapar tak sadarkan diri. Untunglah beberapa jam kemudian sang pemancing diketemukan oleh orang-orang yang melewati tempat tersebut, yang juga akan memancing di tempat tersebut di malam hari.


Diceritakan pemancing yang marah-marah di Leuwi Gombong tersebut di kemudian hari sakit keras dalam waktu yang lama, hingga berbulan-bulan. Kejadian yang mengagetkan dan menyeramkan di Leuwi Gombong itu membuatnya trauma, hingga nyaris gila. Dalam bahasa Sunda keadaan yang dialami sang pemancing yang menyebabkan keadaan traumatik itu yang disebut dengan istilah "soak".


Hingga akhirnya karena saking "soak"nya, sang pemancing melontarkan perkataan “cadu nyarita suaban di Cimanuk” (tabu untuk mengucap kata tak karuan di Sungai Cimanuk). Pacaduan tersebut akhirnya digugu oleh semua orang dan berlaku sampai saat ini di kawasan Sungai Cimanuk.

Asal Mula Nama Garut

Asal Mula Nama Garut

Asal Mula Nama Kabupaten Garut

Sejarah Awal Mula Nama Kabupaten Garut Jawa Barat

Asal mula nama daerah Kabupaten Garut ini bukan berasal dari cerita rakyat Jawa Barat, melainkan dari kejadian sejarah di masa lalu yang terjadi di salah satu daerah Parahyangan ini.


Awalnya dikisahkan dalam catatan sejarah yang saya nukil dan sadur dari beberapa sumber, bahwa terbentuknya Kabupaten Garut adalah dimulai dari dibubarkannya Kabupaten Limbangan pada sekitar tahun 1811-an oleh Gubernur Jendral Daendels. Pembubaran Kabupaten Limbangan ini dikarenakan Daendels merasa kecewa pada produksi kopi yang berasal dari daerah Limbangan. Karena pada saat itu karena satu dan lain hal produksi kopi dari Kabupaten Limbangan menurun drastis bahkan sampai titik terendah yaitu 0. Disini sepertinya Daendels berhitung untung ruginya. Disisi lain, kala itu Bupati Limbangan juga menolak untuk menanam nila.


Hingga pada akhirnya setelah pembubarannya, pada tanggal 16 februari 1813, Letnan Gubernur Raffles mengeluarkan Surat Keputusan tentang masa depan Kabupaten Limbangan yaitu Surat Keputusan pembentukan kembali Kabupaten Limbangan. Kali ini Kabupaten Limbangan akan beribu kota di Suci. Namun ada sedikit kendala dimana untuk menjadi sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan. Hal itu disebabkan karena daerah Suci mempunyai kawasan yang tidak terlalu luas.


Menyikapi persoalan tersebut, Bupati Limbangan yang bernama Adipati Adiwijaya mencoba sebuah solusi yaitu membentuk sebuah panitia yang bertugas mencari sebuah tempat yang diharapkan bisa cocok untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten. Di awal menjalankan tugasnya, panitia menemukan sebuah tempat bernama Cimurah, yang berjarak sekitar 3 (tiga) Kilometer di sebelah Timur Suci. Namun, ada persoalan baru yaitu di tempat tersebut (Cimurah) air bersih sulit untuk didapatkan sehingga diambil keputusan bahwa Cimurah tidak cocok untuk dijadikam Ibu Kota.


Selanjutnya sambil berjalannya waktu, panitia kembali mencari lokasi yang cocok untuk Ibu Kota, kali ini panitia bergerak ke arah Barat Suci, sekitar 5 (lima) Kilometer. Kali ini panitia menemukan tempat yang bisa dibilang cocok untuk dijadikan Ibu Kota, karena selain keadaan tanahnya yang subur, di tempat tersebut juga terdapat mata air yang airnya mengalir ke Sungai Cimanuk. Selain itu, tempat tersebut juga memiliki pemandangan yang memukau dan sangat indah, dimana lokasinya dikelilingi gunung yaitu Gunung Cikuray, lalu Gunung Papandayan, dan beberapa gunung lainnya yaitu Gunung Guntur, kemudian Gunung Galunggung, hingga Gunung Talaga Bodas dan terakhir adalah Gunung Karacak. 


Gunung Cikuray Kabupaten Garut. Sumber Creative Common flickr.com


Bersamaan dengan ditemukannya tempat tersebut, juga ditemukan sebuah mata air yang membentuk telaga kecil. Sayangnya mata air tersebut hampit tak terlihat karena tertutup padatnya semak belukar yang memiliki duri-duri. Dalam proses pembersihan semak-semak tersebut, terjadi sebuah insiden dimana tangan seorang panitia tergores oleh duri dari semak-semak hingga berdarah. Dalam bahasa Sunda tergores duri hingga berdarah itu disebut dengan "kakarut".


Dari kata "kakarut" inilah nama Garut mulai terbentuk. Karena saat pembersihan semak-semak dan pembenahan tempat tersebut, turut andil pula seorang Eropa yang ikut turun tangan dalam "kerja bakti" yang membutuhkan banyak tenaga tersebut. 


Ketika orang Eropa tersebut melihat tangan seorang panitia yang berdarah tadi, ia bertanya "Kenapa tangannya berdarah?" Lalu panitia yang tergores tangannya tersebut menjawab "Tangannya kakarut,".


Lalu orang Eropa tersebut menirukan kata "kakarut" dengan lidah Eropanya. Tentu saja karena tidak fasih, pelafalannya pun menjadi berbeda yaitu menjadi "gagarut".


Maka dimulai dari saat itu, rombongan panitia yang mencari tempat untuk Ibu Kota tersebut menamai tanaman semak berduri yang ada didaerah tersebut dengan nama "Ki Garut", sedangkan mata air yang membentuk telaga kecil yang ada di tempat tersebut dinamakan "Ci Garut". Dan dengan ditemukannya Ci Garut, dicetuskanlah sebuah nama untuk menamai daerah tersebut yaitu "Garut", dan hal tersebut juga direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan saat itu yaitu Adipati Adiwijaya, dan pada akhirnya menjadikan Garut sebagai Ibu Kota Kabupaten Limbangan.


Dan, nama "Garut" inilah yang kita kenal sampai sekarang, yang berasal dari kata kata kakarut dan gagarut.