Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang Garut

Misteri Leuweung Sancang dan Legenda Maung Siliwangi


Leuweung Sancang, adalah nama sebuah kawasan hutan yang sudah sangat dikenal di tatar Sunda utamanya di Kabupaten Garut. Lokasi Leuweung Sancang ini berada di Desa Cibalong, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Sancang.


Hutan, dalam bahasa Sunda disebut Leuweung. Leuweung Sancang berarti Hutan Sancang. Di hutan ini tersimpan sebuah misteri dan legenda. Konon, Legenda Maung Siliwangi jelmaan dari Prabu Siliwangi terlahir dari hutan ini. Prabu Siliwangi sendiri adalah salah satu raja yang dikenal arif dan bijaksana di tatar Sunda, yang berasal dari Kerajaan Padjadjaran.


Jika kita menginjakkan kaki di kawasan Leuweung Sancang, kita bisa menjumpai pohon-pohon yang lebat dan besar, yang diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Dan bersanding dengan pohon-pohon yang lebat itu, binatang liar pun bisa dijumpai di sini termasuk yang berada diambang kepunahan yaitu Owa Jawa.


Legendanya, di Leuweung Sancang inilah Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi menghilang dan berubah wujud menjadi Maung (harimau) bersama para prajuritnya, dimana Prabu Siliwangi berubah menjadi harimau tanpa belang dan para prajuritnya berubah menjadi harimau biasa yang saat ini biasa orang Sunda sebut dengan "Maung Lodaya".


Awal Mula Cerita Munculnya Maung Siliwangi


Menurut legenda yang kisahnya diceritakan secara turun-temurun, munculnya Maung Siliwangi ini berawal dari kegigihan dakwah Prabu Kiansantang terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk memeluk Islam. Seperti diketahui, kerajaan Padjajaran adalah kerajaan di tanah Sunda yang bercorak Hindu dan Prabu Siliwangi adalah seorang pemeluk Hindu yang taat.


Cerita ini dimulai pada tahun 1513, ketika itu lahirlah keturunan Prabu Siliwangi yang bernama Raden Kiansantang. Raden Kiansantang sedari kecil sangatlah cerdas, dan seiring waktu ia tumbuh menjadi pemuda yang cakap gagah. Bahkan di usianya yang masih belia ia sudah sangat mahir menguasai ilmu beladiri dan ilmu kanuragan, yang dikemudian hari membuatnya terkenal karena kesaktiannya.


Saking saktinya, Raden Kiansantang tak dapat dilukai dalam pertarungan, senjata tajam model apapun tak akan mempan pada tubuhnya. Tubuhnya benar-benar kebal, tak bisa dilukai. Ia menjadi seorang pendekar yang sakti mandraguna sampai ia sendiri pun heran akan hal ini.


Untuk mencari jawaban akan rasa penasarannya ia berkeliling mengembara menelusuri tatar Sunda tanah Pasundan. Ia sangat ingin melihat darahnya sendiri mengalir, tapi setiap lawan tanding yang ia jumpai dalam pengembaraannya tidak bisa melakukan itu. Tak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat darahnya menetes sedikitpun.


Tak juga mendapat lawan sepadan, akhirnya ia meminta ayahandanya Prabu Siliwangi untuk mencarikan lawan tanding. Dan Prabu Siliwangi pun mengabulkan permintaan putranya tersebut, ia meminta bantuan pada orang-orang pintar dan berpengetahuan luas, hingga ahli nujum, untuk mencarikan seseorang yang mampu mengalahkan putranya.


Hingga akhirnya, datanglah seorang kakek yang memberitahu siapa dan dimana ada lawan yang pantas untuk bisa mengalahkan Raden Kiansantang. Ia mengatakan bahwa orang yang gagah itu bisa ditemukan di Tanah Suci Mekkah. Orang itu bernama Ali.


Mendengar hal itu Raden Kiansantang pun merasa tertantang dan ingin segera bertarung menghadapi orang bernama Ali tersebut. Ia pun bersemedi terlebih dahulu di Ujung Kulon (ujung barat) dan mengubah namanya menjadi Galantrang Setra sebagai syarat yang diberikan oleh sang kakek pemberi berita.


Ilustrasi Maung Siliwangi
Ilustrasi Hutan dan Maung Siliwangi.
Sumber Creative Commons pxhere.com


Raden Kiansantang Pergi ke Tanah Arab dan Memeluk Agama Islam


Setelah selesai menjalankan dua syarat tersebut, Raden Kiansantang tak menunggu lama langsung melakukan perjalanan ke Mekkah. Ia tak sabar untuk bertemu dengan orang bernama Ali yang dikabarkan bisa mengalahkannya. Dan sesampainya di kota Mekkah ia langsung mencari orang tersebut.


Dalam pencariannya, Raden Kiansantang bertemu dengan seorang pria yang bersedia mengantarnya untuk bertemu dengan sosok bernama yang Ali yang sedang dicari. Namun pria tersebut mengajukan syarat, jika Raden Kiansantang benar-benar ingin bertemu dengan Ali, Raden Kiansantang harus bisa mencabut mengangkat tongkat yang sebelumnya ditancapkan ke pasir oleh pria tersebut. Raden Kiansantang pun menyanggupinya.


Betapa kagetnya Raden Kiansantang, karena ternyata ia tak mampu mencabut tongkat di hadapannya, padahal itu hanyalah sebuah tongkat yang ditancapkan ke pasir. Tak sampai di situ Raden Kiansantang pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kesaktiannya untuk mencabut tongkat tersebut. Tapi yang terjadi,Raden Kiansantang tetap tak bisa mencabut tongkat tersebut walau ia sampai mengeluarkan keringat darah.


Melihat kejadian itu, sang pria menghampiri Raden Kiansantang yang sedang terengah-engah. Ia membaca Bismillah, lalu mencabut tongkat yang tertancap. Dan tongkat itu pun tercabut dengan mudahnya. Raden Kiansantang pun keheranan, kenapa pria itu bisa mencabut tongkat dengan mudahnya, sementara dirinya sampai mengeluarkan keringat darah pun tetap tidak bisa mencabutnya.


Singkatnya karena kejadian tersebutlah Raden Kiansantang lalu memeluk agama Islam. Ia pun menetap di kota Mekkah beberapa bulan untuk mempelajari agama barunya, Islam. Dan ia pun berniat sekembalinya ia ke Padjadjaran nanti, ia akan membujuk ayahnya untuk memeluk agama Islam juga.


Waktu itu pun tiba, Raden Kiansantang pulang dari kota Mekkah ke Padjajaran. Sesampainya di Pajajaran ia langsung menyampaikan maksudnya, ia mendakwahkan agama Islam kepada ayahnya dan berharap ayahnya akan menyambut baik. Namun ternyata, harapan tak sesuai kenyataan, Prabu Siliwangi enggan mengikuti jejak anaknya untuk memeluk agama Islam, ia ingin tetal menjadi pemeluk Hindu yang taat.


Namun demikian Raden Kiansantang tak menyerah, ia kembali lagi ke Mekkah untuk makin memperdalam ajaran agama Islam, dengan harapan jika ilmu agama Islamnya semakin dalam ia dapat menjelaskan Islam dengan lebih baik pada ayahnya. Dan dengan itu ia berharap Prabu Siliwangi bisa percaya pada ajaran agama yang dibawanya yaitu Islam, dan terbujuk untuk ikut memeluk agama Islam.


Berubahnya Prabu Siliwangi Menjadi Harimau di Leuweung Sancang


Tujuh tahun lamanya Raden Kiansantang memperdalam kembali ajaran agama Islam di Mekkah. Setelah dirasa cukup ia pun berniat untuk kembali ke Pajajaran. Dan Prabu Siliwangi pun mendengar berita tersebut, anaknya akan segera pulang.


Berdasar berita kepulangan anaknya itu, Prabu Siliwangi membuat keputusan untuk mengubah keraton Pajajaran menjadi hutan rimba agar Raden Kiansantang tak bisa menemukan keraton Pajajaran.


Sesampainya di lokasi yang sebelumnya adalah tempat berdirinya keraton, Raden Kiansantang kaget karena keraton Pajajaran ternyata telah berubah menjadi hutan rimba. Padahal ia hanya pergi sekitar tujuh tahun, tapi keadaan keraton sudah berubah drastis. Ia pun berjalan menelusur kesana kemari di dalam hutan itu untuk mencari ayahnya, karena ia yakin hutan itu adalah tempat berdirinya keraton Pajajaran. Ia pun merasa lega ketika akhirnya ia berhasil menemui Ayahnya beserta prajurit Pajajaran di dalam hutan teraebut.


Dalam kebahagiaannya ia bertanya pada Ayahnya dengan penuh khidmat, "Ayahanda, mengapa Ayahanda tinggal di dalam hutan? Bukankah Ayahanda adalah seorang Raja Padjajaran? Apakah pantas seorang Raja yang begitu disegani tinggal di hutan?"


Prabu Siliwangi pun menjawab "Wahai Ananda tersayang, jika bukan Raja, lantas apakah yang pantas untuk tinggal di hutan?". Raden Kiansantang pun menjawab, "Yang pantas tinggal di hutan seperti ini adalah harimau,".


Konon katanya menurut cerita, seketika itu juga Prabu Siliwangi beserta para prajurit dan pengawalnya tiba-tiba saja berubah menjadi harimau. Tentu saja Raden Kiansantang kaget melihat hal tersebut dan sangat menyesal atas apa yang ia ucapkan, karena sepertinya sang ayah berubah mengugu apa yang diucapkannya.


Tapi meski Prabu Siliwangi sudah berubah menjadi harimau, Raden Kiansantang pantang menyerah dan tetap mengajak ayahandanya untuk memeluk agama Islam. Namun sepertinya Prabu Siliwangi pun bersikukuh untuk menolak, harimau-harimau di hadapan Raden Kiansantang satu persatu menjauh lari dan pergi ke daerah selatan lalu masuknke dalam goa. Goa tempat masuknya harimau-harimau tersebut kini dikenal dengan nama Goa Sancang yang terletak di dalam rimbun dan pekatnya Leuweung Sancang Garut.


Menurut cerita, para harimau tersebut selanjutnya bersemayam di hutan tersebut tepatnya di kayu Kaboa. Kayu Kaboa sendiri begitu dikenal dalam dunia ilmu ghaib. Dimana menurut para sesepuh, kayu Kaboa di Leuweung Sancang ini terbagi menjadi dua jenis yaitu Kaboa Munding yang berada di belantara Hutan Sancang, dan Kaboa Siliwangi yang berada di tengah Hutan Sancang.